Tabanan, liputandewata.com – 14 Oktober 2025 – Garis Pantai Klecung di Kabupaten Tabanan, yang selama ini diagungkan sebagai lanskap pesisir dengan ketenangan spiritual, kini memancarkan sinyal darurat lingkungan yang tak terhindarkan. Pemantauan mendalam oleh awak media pada Selasa sore (14/10/2025) mengungkap fakta brutal: abrasi substansial akibat intensitas pasang laut yang masif telah menggerus integritas wilayah, mengancam fondasi ekologis dan sosio-kultural kawasan tersebut.
Ironi struktural ini terkuak secara dramatis di tengah pelaksanaan upacara sakral Hindu, Pujawali Ida Betara Ke Segara Melasti dari Pura Puseh setempat. Peristiwa religius yang fundamental bagi keyakinan Tri Hita Karana di Bali ini, alih-alih hanya menjadi momen spiritual, justru bertransformasi menjadi panggung visual atas kegagalan mitigasi pesisir oleh otoritas daerah.
Menyaksikan langsung kerusakan yang terhampar di Klecung, I Made Wijaya, S.E., Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Badung, melontarkan kritik keras yang menukik tajam kepada Pemerintah Kabupaten Tabanan dan Pemerintah Provinsi Bali. Wijaya mendesak adanya intervensi yang bukan hanya reaktif, melainkan proaktif dan terukur.
“Peran pemerintah Bali terhadap pesisir yang mengalami abrasi parah semestinya cepat ambil sikap agar kepercayaan publik lebih membaik supaya tidak seakan-akan tidak ada yang memperdulikan dari pihak pemerintah,” tegas Made Wijaya di lokasi, merujuk pada defisit kepercayaan publik yang kian menganga akibat lambannya respons struktural.
Pernyataan ini melampaui sekadar retorika politik; ia adalah tuntutan untuk akuntabilitas. Abrasi di Pantai Klecung merupakan episentrum yang merefleksikan rapuhnya tata kelola pesisir di Bali, yang selama ini hanya mengandalkan program seremonial seperti penanaman mangrove temporer, alih-alih mengimplementasikan solusi infrastruktur rekayasa pantai yang berkelanjutan dan resilien terhadap perubahan iklim.
Kehadiran sosok legislator dari kabupaten tetangga dalam momen keagamaan sekaligus melihat bencana alam ini memberikan legitimasi kuat bahwa ancaman Klecung bukan sekadar masalah lokal, melainkan memerlukan visi kebijakan strategis yang solutif. Situasi ini menempatkan Pemerintah Kabupaten Tabanan dan Provinsi Bali pada persimpangan dilema etis: mempertahankan citra warisan alam sebagai komoditas pariwisata atau menjamin keberlangsungan tradisi spiritual dan keamanan lingkungan bagi masyarakat.
Lebih lanjut, Wijaya secara spesifik menyinggung perlunya aktivasi peran balai penida dan institusi non-struktural dalam upaya kolaboratif memperhatikan dan merevitalisasi pesisir yang terabrasi. Hal ini mengisyaratkan bahwa penanganan masalah abrasi seharusnya melibatkan konsolidasi multisektor, menembus sekat birokrasi, demi memulihkan integritas wilayah dan, yang paling krusial, memulihkan marwah komitmen pemerintah. Pemerintah harus segera membuktikan bahwa perlindungan aset ekologis dan budaya Bali adalah prioritas, bukan sekadar janji politik yang tergerus oleh ombak.
AR81/SPT